Minggu, 03 Mei 2009

suramadu

Menyongsong Madura Pasca Jembatan Suramadu*

Oleh : Ahmad Nawardi S.Ag

Pulau Madura memiliki kekayaan alam yang sangat besar lebih besar dari yang dipikirkan Orang Madura. Pulau yang memiliki luas 4.887 kilometer persegi atau sekitar 10 persen dari total luas Jatim, memiliki sumber alam yang melimpah, membentang dari pantai utara sampai pantai selatan, dari Pulau Sapeken (Pulau paling timur di Madura) sampai perairan di Barat Kabupaten Bangkalan.

kekakayaan itu meliputi emas hitam (minyak bumi), gas, phosphat (bahan baku pupuk), perikanan dan pertanian serta sumber-sumber lainnya seperti garam dan hasil tembakau yang paling baik di Asean termasuk kekayaan pariwisata. Semuanya bisa memberikan prospektif dalam menyongsong madura pasca jembatan Suramadu.

Secara geografis Pulau Madura hanya berjarak empat kilometer dari Ujung, Surabaya. Pulau itu memiliki panjang dari barat ke timur 160 kilometer dan lebar dari utara ke selatan 40 kilometer dengan jumlah penduduk sekitar 4,2 juta jiwa. Daerah Madura dapat dikelompokkan menjadi Madura Barat dengan pusatnya di Bangkalan dan Madura Timur dengan pusatnya di Sumenep. Sedangkan Kota Pamekasan dan Sampang berada di antara keduanya. Dalam tata pemerintahan propinsi JatiM, Madura masuk dalam Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) VI yang berpusat di Pamekasan.

Selain empat kabupaten tersebut, Madura juga mempunyai kawasan kepulauan yang berjumlah 77 pulau, semuanya berada di Sumenep kecuali satu pulau berada di Sampang yakni Pulau Mandangin sekitar 2 jam perjalanan naik perahu dari Kota Sampang.

Sayang data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, PAD yang dihasilkan kabupaten di Madura sangat kecil dibanding di daerah lain di Jawa. Secara keseluruhan tidak ada yang mencapai sepuluh persen dari APBD yang dibuat. Tahun 2007, PAD Kabupaten Bangkalan misalnya hanya Rp 26,74 miliar sedangkan APBD-nya Rp 486,44 miliar. Sampang menghasilkan Rp 18,459 miliar dengan APBD Rp 397,53 miliar. Pamekasan memiliki PAD Rp 28 miliar dengan APBD Rp 445,86 miliar. Sedangkan Sumenep mempunyai PAD Rp 31,52 miliar dengan APBD Rp 544,24 miliar.

Dengan pemanfaatan kekayaan alam, flora dan fauna, perikanan, pertanian dan periwisata, ke depan masyarakat Madura harus bangkit. Orang Madura harus menjadi tuan (majikan) di daerahnya sendiri. Dengan kekayaan tersebut orang Madura bisa membangun perekonomiannya sendiri, bisa membangun sarana dan prasarana pendidikan, infrastruktur dengan tetap mempertahankan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat Madura.

Emas Hitam dan Gas di Perut Pulau Madura

Tidak banyak masyarakat Madura yang tahu bahwa Pulau Madura memiliki 104 blok sumber migas yang sudah dikapling investor, dan baru 14 blok di antaranya yang dieksploitasi. Konon sejak beberapa tahun lalu ekslporasi besar-besaran sudah dilakukan oleh perusahaan asing yang berkongsi dengan perusahaan nasional.

Konon 80% Pulau Madura yang di darat hak eksplorasinya dipegang oleh EXSPAN NUSANTARA yg merupakan peranakan MEDCO. Beberapa potensi offshore (lepas pantai) dibagi-bagi antara CONOCOPHILLIPS (formerly brought by GULF, dari Amerika) dan SANTOS (dari Australia), sedangkan PERTAMINA sendiri cuman jualan minyak sulin. Menyedihkan!

Seorang teman dari PT CONOCO, menyebutkan potensi alam di Madura didominasi oleh gas dan reservoir (sumber minyak) di sana adalah ujung reservoir yg membentang dari cepu ke arah timur. Peta seismik perut Madura konon hanya dimiliki EXXONMOBIL dan PERTAMINA.

Potensi laut Madura juga mengandung minyak dan gas yang sangat luar biasa. Konon kekayaan alam ini menjadi satu sumber aliran dari Porong Sidoarjo menuju Blok Cepu, Bojonegoro. Sumber-sumber minyak dan gas terbentang mulai dari pantai utara sampai ke pantai selatan Madura. Lokasi minyak lepas pantai yang sedang produksi terletak di Pulau Pegerungan, Kabupaten Sumenep, dengan kontraktor Kodeco Lapangan Poleng. Sedangkan yang sedang dalam tahap eksplorasi berada di lokasi Sumenep (Arco Kangean), Sampang (Gulf Ketapang Madura, Santos Sampang), dan Bangkalan (Kodeco Blok Barat).

Di Pulau Pagerungan Besar, Kecamatan Sapeken, Sumenep, setiap harinya mengalir 200 juta kaki kubik (BCF) gas melalui pipa sepanjang 350 km (di laut) dan 80 km (di darat) ke Gresik. Gas dari sumber migas Blok Kangean yang dikelola PT Arco Bali North (ABN), PT Arco Blok Kangean (ABK), PT Beyond Petroleum Indonesia (BPI), dan PT Energi Mega Persada (EMP) Ltd itu disuplai ke 25 industri di Gresik, seperti PT Petrokimia, PT Gas Negara (PGN), dan PT PLN Distribusi Jawa-Bali. Ini adalah fakta yang terlihat, bukan sekadar data.

Dari pulau seluas 50 hektare ini saja setiap harinya menghasilkan 11,74 juta barel minyak dan kondensat, serta 947 juta kaki kubik gas. Tapi, kita tak tahu, ke mana larinya 11,74 juta barel minyak dan kondensat, serta 747 juta kaki kubik gas sisanya.

PT Pertamina mencatat, Blok Kangean memiliki cadangan lebih dari satu triliun kaki kubik (TCF) gas. Produksi gas ini bisa dioptimalkan menjadi 800 juta kaki kubik per hari. Sangat kaya, bukan? Tapi, masyarakat Sumenep hanya kecipratan hasilnya dari PBB sebesar Rp 6 miliar per tahun. Ironisnya PAD yang dimiliki kabupaten berpenduduk sekitar 1 juta jiwa ini tak lebih Rp 31,52 miliar dengan APBD Rp 544,24 miliar.

Jelas, nilai itu tak sepadan dengan kekayaan yang diambil dari perut pulau gas ini. masyarakat Pagerungan Besar dan penduduk Sumenep tak tahu dibawa ke mana sebanyak 11,74 juta barel minyak dan kondensat, serta 747 juta kaki kubik gas sisa setiap hari yang dihasilkan. Karena di sekitar Pagerungan Besar tak pernah terlihat ada kapal tanker yang mengangkutnya. Atau mungkin ada saluran pipa lain yang mengarah ke tengah lautan lepas, sehingga tak ada yang tahu jika setiap hari sudah ada kapal tanker yang menampung dan membawa langsung ke luar negeri. Tapi yang jelas, berdasarkan data yang diperkuat fakta, di sana ada hasil eksploitasi sebesar itu.

Saya pernah mengintip dan menginap selama satu minggu di Pagerungan Besar dan Pagerungan Kecil, meski Pulau itu memiliki sumber yang bernilai triliunan rupiah, tapi penduduk setempat hidupnya tak berubah. Mereka tetap menjadi nelayan tradisional, menjadi babu di tanah kelahirannya. Rumah-rumah penduduk terbuat dari kayu-kayu jati dan mayoni yang dikirim dari Kalimantan dan Sulawesi. Penghasilan mereka lebih banyak berasal dari hasil tangkapan ikan yang kemudian dijual ke pedagang ikan yang mengirim ke pasar-pasar dan restoran di Jawa.

Ini sangat memprihatinkan, para karyawan di PT Gas Pagerungan yang mendapat gaji tinggi atau mandor berasal dari Jawa. Mereka pulang pergi setiap hari naik pesawat yang disiapkan perusahaan. Sementara penduduk asli hanya menjadi satpam dan karyawan biasa. Bahkan pada 2004 lalu, mereka melakukan aksi demontrasi menuntut hak dan perjanjian kesejahteraan, termasuk sarana dan prasarana pendidikan yang tak kunjung di tepati oleh PT Gas Pagerungan. termasuk janji memberikan penerangan listrik yang terus di tagih masyarakat.

Kondisi itu sangat kontras dengan keadaan pendatang yang tinggal di kamp-kamp yang bekerja untuk ABN, ABK, BPI, dan EMP. Masyarakat di sana hingga kini masih tetap menjadi penonton setia, meski kekayaan alamnya dibawa entah ke mana. Padahal mereka bisa menjadi juragan di sana. Sebagian fakta tersebut sudah cukup membuktikan kekayaan Madura. Ini belum lagi sumber migas lainnya seperti di lepas pantai utara Bangkalan yang dikuasai PT Kodeco. Tapi, apa yang diperoleh Bangkalan? Paling-paling cuma retribusi PBB saja. Masyarakat Bangkalan tak menjadi juragan. Eksploitasi ini tidak mempengaruhi PAD dan APBD yang dapat meningkatkan taraf hidup orang Bangkalan. Tengok saja PAD Bangkalan hanya Rp 26,74 miliar sedangkan APBD-nya Rp 486,44 miliar.

Akibat hasil kekayaan alam itu semua dikuasai negara dan para investor, banyak masyarakat Madura yang terpaksa harus merantau ke Surabaya dan tanah jawa lain hnya termasuk ke luar pulau Jawa. Bahkan, tidak sedikit yang bekerja di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Arab Saudi, Mesir, Jordania, dan Kuwait, termasuk Amerika Serikat sebagai TKI.

Selain migas, Madura juga memiliki phosphat. Mantan gubernur Jatim asal Madura, M Noer menyatakan pihak Jepang dalam penelitiannya mengakui, phosphat dari Madura adalah yang paling baik dan cocok untuk bahan campuran pupuk. Setiap bulan dua-tiga ton phosphat sebagai campuran pupuk diekspor ke Jepang. Kekayaan alam berupa phosphat yang tersebar di pegunungan-pegunungan Madura, sesungguhnya memberikan harapan besar kepada perbaikan sekaligus kesejahteraan penduduk miskin. Kadar fosfat di Madura masih muda, sehingga ke depan mempunyai harapan yang baik.

Madura juga memiliki potensi agrobisnis berupa mente dan cabai jamu yang pangsa pasarnya sangat luas di dalam negeri maupun untuk ekspor. Cabai jamu asal Madura ini sudah menembus pasar ekspor India dan Kanada. Namun, masih perlu dikembangkan, apalagi tanaman mente yang masih rendah. Ini merupakan tugas bupati-bupati di Madura bersama calon legislatif yang berasal dari Madura, untuk mengembangkan.

Selain potensi diatas, madura juga mempunyai sumber potensi pasir kwarsa, dolomit, kapur, dan lain-lain, sebagian di antaranya sudah ada yang dieksploitasi. Dan konon, dari pantauan satelit Amerika, Pulau Madura juga mengandung uranium, besi, dan emas. Akankah semua itu bisa memakmurkan masyarakat Madura pasca jembatan Suramadu? (bersambung)
http://www.pamekasan.go.id/index.php

Label:


Komentar:

Posting Komentar

SIlahkan anda komentari beberapa layanan blob kami

Berlangganan Posting Komentar [Atom]





<< Beranda

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]