Minggu, 10 Mei 2009

1001 cara

Selasa, 2009 Februari 03
1.001 Cara Petani Tembakau Madura Kejar Harga (3)
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto mengatakan, ciri orang yang tidak berkualitas adalah yang tidak punya pilihan dalam hidupnya.

Boleh jadi, seperti itulah kondisi petani tembakau di Madura. Mereka memilih komoditi tertentu karena terpaksa karena tidak ada pilihan lain.

Petani Madura sudah turun-temurun menanam tembakau. Bahkan menurut sejarah, tembakau diperkirakan merupakan tanaman asli Madura yang diperkenalkan oleh Pangeran Katandur sekitar abad ke-12.

Peneliti tata niaga tembakau Madura dari UK Petra Surabaya Prof Dr Thomas Santoso MSi mengemukakan, pendapat lain mengungkapkan bahwa tembakau diperkenalkan oleh orang Portugis pada akhir abad ke-16.

Terlepas dari mana yang benar, yang jelas tembakau memiliki ikatan sejarah panjang dengan petani di Madura.

Karena itulah sangat sulit bagi petani di Madura untuk pindah ke komoditas lain. Bahkan beberapa kali dicoba untuk mengalihkan petani tembakau ke tanaman lain, tapi semua gagal.

"Dulu pernah diperkenalkan tanaman bawang putih sebagai pengganti tembakau, tapi ternyata merugikan petani. Umumnya petani kurang pengetahuan mengenai pemeliharaan, penyimpanan, termasuk pemasaran hingga akhirnya busuk," kata Thomas Santoso.

Sekitar akhir tahun 1970-an hingga 1980-an, sejumlah petani di Kecamatan Larangan dan Kadur mencoba komiditi lain dan sukses, yakni jeruk. Saat itu hasil jeruk menjadi "saingan" utama tembakau.

Namun, petani tetap tidak bisa meninggalkan tembakau. Mereka tetap menanami areal kebun jeruknya dengan tembakau. Karena tumpangsari seperti itu, maka tanaman tembakau tidak terlalu bagus.

Karena sangat bagusnya tanaman jeruk ketika itu, Gubernur Jatim Basofi Soedirman menggagas tempat wisata agro di Larangan.

Basofi sudah meninjau Desa Lancar, Larangan, salah satu sentra penghasil jeruk.

Tapi, rencana itu belum terwujud, masa-masa kejayaan tanaman jeruk berakhir di penghujung tahun 1980-an. Diduga karena serangan virus CVPD yang menyerang bagian akar, hingga pohon jeruk banyak yang layu. Pohon jeruk yang terserang virus itu daunnya menguning dan produksi buahnya terus menurun.

Atas anjuran Dinas Perkebunan daerah, petani yang awalnya pasrah dengan keadaan itu kemudian menebang semua pohon jeruk serta mencabut akar-akarnya agar virusnya mati. Lahan yang sudah kena virus itu baru bisa ditanami jeruk lagi lima tahun setelah ditebang.

Namun hingga hampir 20 tahun setelahnya petani masih enggan untuk mencoba lagi komoditi jeruk. Apalagi para petani yang dulu berjuang menanam jeruk sudah banyak yang meninggal dan lahannya diganti oleh anak-anaknya yang tidak banyak tahu tentang jeruk.


Tak menguntungkan

Akhirnya para petani kembali ke pertanian yang sebetulnya tidak menjanjikan keuntungan, bahkan kemungkinan hingga tahun-tahun mendatang harga jual tembakau tidak membaik.

Hal itu dapat dilihat dari perkembangan harga tembakau dari tahun ke tahun yang tidak berubah, bahkan seringkali lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Thomas Susanto dalam laporan hasil penelitiannya menyebutkan, tahun 2000, harga tembakau dengan mutu kelas I sudah mencapai Rp24 ribu per kg, mutu kelas II Rp18.500, mutu kelas III Rp15.500dan mutu kelas IV Rp13 ribu.

Dengan harga demikian, petani tembakau saat itu masih bisa menikmati jerih payahnya. Namun ketika harga-harga naik seiring dengan melambungnya harga BBM, harga tembakau petani tidak berubah.

Tahun 2007 harga tembakau justru mencapai titik paling rendah hingga ada yang Rp4.000 per kg.

Namun menurut petani, saat setahun lalu itu harga-harga kebutuhan pokok masih belum melambung dibandingkan saat ini.

"Kalau dulu harga telur masih Rp500 per butir, sekarang sudah Rp1.000. Jadi sebetulnya meskipun harga tembakau sekarang lumayan bagus, petani tetap tidak menikmati apa-apa," kata Suha, seorang ibu rumah tangga yang juga petani.

Sejumlah petani lain mengemukakan bahwa dengan harga Rp20 ribu per kg, petani tidak menikmati untung. Mereka hanya menerima uang yang kalau dihitung biaya produksi tidak mendapatkan apa-apa, kecuali kelelahan mental dan fisik.

Biaya produksi tembakau di Madura tergolong tinggi karena perawatannya lebih rumit ditambah biaya pembelian air. Belum lagi biaya pekerja, terutama saat-saat masa panen.

Pada akhir Agustus 2008, harga tembakau rajangan di Pamekasan berkisar Rp15.000 hingga Rp25.000 per kilogram. Meskipun demikian, harga yang paling banyak dinikmati petani adalah Rp17.000 hingga Rp21.000 per kilogram.

Di beberapa daerah yang letakknya di ketinggian, seperti di kawasan utara, dikabarkan harga tembakau mencapai Rp35.000 per kilogram. Namun untuk menemukan tembakau rajangan dengan kualitas seperti itu sangat sulit.

Memasuki September diperkirakan harga tembakau rajangan akan terus turun. Umumnya, saat awal panen harganya masih rendah, namun beberapa hari kemudian naik dan mencapai puncak harga biasanya hanya berkisar satu minggu.

Setelah itu harga akan terus turun bahkan mencapai titik terendah. Seperti pada 2007, petani terpuruk karena harga per kilogram mencapai Rp4.000. Dalam kondisi seperti ini petani tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali menerima kenyataan.

Guru Besar ekonomi manajemen UK Petra Surabaya Thomas Santoso mengemukakan bahwa saat ini memang sulit untuk meningkatkan nilai tawar petani tembakau karena tidak adanya aturan yang mengikat mengenai harga.

"Sebetulnya dalam banyak hal, kondisi sekarang sudah menguntungkan petani. Misalnya sekarang pemotongan sampel sudah dibatasi. Zaman dulu bisa mengambil sampel 2 kg - 3 kg setiap balnya. Jadi dulu dalam satu gudang selama satu musim bisa memiliki 100 ton dari sampel itu," kata profesor yang pernah lama tinggal di Pamekasan itu.

Akademisi yang ketika SMA pernah bekerja di gudang tembakau di Pamekasan itu secara berseloroh mengemukakan bahwa petani memang selalu menjadi korban.

Ia memelesetkan kata petani menjadi "penderita tata niaga".

Ia mengemukakan harga tembakau memang sangat dipengaruhi atau sering menjadi korban dari kenaikan komponen lain dari rokok. Misalnya jika harga cengkeh dan kertas naik, maka pabrik rokok akan menekan harga komponen lainnya.

"Satu-satunya yang bisa ditekan adalah tembakau. itu kan memang hukum dagang seperti itu. Kalau harga cengkeh dan kertas naik, kemudian harga tembakau ikut dinaikkan, konsekuensinya kan pabrik rokok menaikkan harga jual rokok. Itu yang sulit," katanya.

Karena itu, katanya, untuk membantu petani, pemerintah harus mengatur harga dasar tembakau seperti halnya cengkeh. Namun hal itu kemungkinan sulit direalisasikan karena akan memiliki dampak yang luas.

Hal yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pertanian atau perkebunan adalah mendorong petani untuk mencoba komuditas lain, termasuk jeruk Madura yang juga memiliki kekhasan.

Dengan cara ini, maka produksi tembakau Madura akan terus turun. Diharapkan pada titik tertentu dari terus berkurangnya tembakau Madura, justru pabrik rokok yang nantinya membutuhkan tembakau Madura, sehingga harga bisa naik.

Masuki M. Astro (sumber: www.antarajatim.com)

Label:


Komentar:

Posting Komentar

SIlahkan anda komentari beberapa layanan blob kami

Berlangganan Posting Komentar [Atom]





<< Beranda

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]